Jakarta || Jacktv.news

Tuntutan tarif cukai Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan tarif Sigaret Putih Mesin (SPM) Golongan III terhadap rokok lokal Madura terus menguat. Dua asosiasi pengusaha tembakau Madura, Asosiasi Pengusaha Muda Tembakau Madura (APTMA) dan Paguyuban Pelopor Petani dan Pedagang Tembakau Madura (P4TM) melakukan audiensi dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Komisi XI DPR RI pada Selasa (27/5/2025).

Ketua Asosiasi Pengusaha Muda Tembakau Madura (APTMA), Holili menyampaikan, indutsri tembakau menjadi tulang punggung utama perekonomian masyarakat Madura. Tanah Madura telah banyak menghasilkan tembakau beekualitas pada tiap tahunnya.

“Kalo Papua punya gunung emas, sedangkan Madura punya daun emas yang kemudian disebut dengan tembakau,” katanya ketika ditemui di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta.

Akan tetapi, kata Holili, kekayaan tersebut tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat, baik dalam kapasitasnya sebagai petani maupun sebagai pengusaha lokal.

Menurut Holili, hal tersebut diakibatkan karena harga pita cukai yang terlampau tinggi bagi industi rokok lokal seperti Madura. Tarif cukai SKM-SPM Golongan I dan II berada di harga 746-1.231 rupiah per batang/gram.

“Hal itu mengakibatkan industri tembakau dan rokok lokal Madura sulit berkembang bersaing dengan rokok nqwional seperti Djarum dan Sampoerna,” ujar Holili.

Hal tersebut, mengakibatkan petani tembakau dan pengusaha rokok lokal Madura mengalami hal yang dilematis. Jika rokok lokal Madura tidak dapat berkembang karena tarif cukai, maka dipastikan industri tembakau akan ambruk.

Menurut Holili, petani terpaksa akan menjual tembakaunya kepada perusahaan rokok besar dengan kisaran harga 20.000-40.000/kg. Berbeda dengan pengusaha lokal yang menghargai tembakau di kisaran harga 80.000-100.000/kg.

“Hal ini tentu tidaklah manusiawi. Tidaklah adil. Tapi ketika pengusaha lokal Madura melakukan inovasi dengan menjadikan rokok tanpa cukai, kami diterribkan dengan swippinh ke rumah-rumah dan pencegatan di jalan-jalan,” ungkap Holili.

Untuk itu, Holili meminta Pemerintah memberlakukan tarif cukai Golongan III yang berkisar di harga 350-400/gram terhadap rokok lokal Madura.

Menurut Holili, tuntutnnya tersebut menjadi win-win solution bagi negara dan masyarakat Madura. Negara bisa untung dengan pendapatan tarif cukai, dan rokok lokal Madura bisa berkembang.

“Kami pastikan, kalo tarif cukai Golongan III diberlakukan terhadal rokok lokal Madura, pendapatan negara dari tarif cukai rokok Madura akan mencapai kisaran 4 triliyun/tahun,” tegas Holili di depan Pimpinan dan Anggota Komisi XI DPR RI.

Merespon persoalan tersebut, Ketua Komisi XI DPR Mukhammad Misbakhun menyebut pihaknya akan memanggil Dirjen Bea dan Cukai Menteri Keuangan dalam waktu dekat. Tuntutan soal pemberlakuan SKM-SPM Golongan III terhadap rokok lokal Madura akan dikaji sebaik mungkin di internal Komisi XI.

“Jadi Bapak sekalian jangan sesekali meragukan konsistensi saya di sini. Selama empat periode saya sidah concern memperjuangan isu tembakau ini,” ungkapnya.

Di samping itu, Aggota Komisi XI dari Dapil Madura, Eric Hermawan menambahkan, diriny ikut prihatin dengan kondisi industri tembakau di Madura. Tetapi hingga kini tidak ada pendekatan dialogis yang saling menguntungkan.

Dirinya secara pribadi mengaku telah melakukan dialog dengan beberapa pengusaha rokok lokal Madura. Menurutnya, tarif cukai memang jadi faktor yang mengakibatkan rokok lokal Madura beredar secara ilegal.

“Mereka mau bayar cukai, dan itu memang harus dibayarkan kepada negara. Tapi masalahnya tarifnya tidak terjangkau bagi pengusaha lokal. Ke depan, Golongan III ini yang perlu kita dorong ke Dirjen Cukai khusus untuk rokok Madura,” ungkap Eric.

(Red)

Reporter: Jakarta