Jakarta || Jacktv.News

Kasus dugaan kejahatan seksual dan penyalahgunaan narkoba yang menyeret nama mantan Kapolres Ngada, Nusa Tenggara Timur (NTT), terus menjadi sorotan tajam publik. Isu ini tak hanya mengguncang kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian, tetapi juga mengundang perhatian serius dari kalangan legislatif hingga tokoh masyarakat NTT.

Anggota Komisi III DPR RI, Umbu Kabunang Rudi Yanto Hunga, menjadi salah satu suara paling lantang dalam mengawal kasus ini. Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Kapolda NTT, Kajati NTT, dan Mabes Polri yang digelar di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (22/5/2025), Umbu Hunga menyatakan dengan tegas bahwa pelaku harus dihukum seberat-beratnya.

“Kalau perlu dihukum mati, bahkan dihukum kebiri. Ini demi keadilan bagi perempuan dan anak-anak korban,” tegas Umbu Hunga, politisi Partai Golkar asal NTT itu.

Lebih lanjut, Umbu Hunga juga mengungkap adanya indikasi bahwa pelaku menawarkan uang sebesar Rp3 juta untuk merekrut korban baru. Fakta ini membuka kemungkinan kasus tersebut tak hanya berhenti pada kekerasan seksual dan penyalahgunaan narkoba, tetapi juga mengarah ke dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) serta Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

“Kami terus mengawal agar perkara ini dikembangkan menjadi penyidikan baru. Pasal-pasal tambahan seperti TPPO dan TPPU wajib dipertimbangkan agar hukuman maksimal dapat diterapkan,” lanjutnya.

Langkah ini mendapat dukungan dari banyak pihak, termasuk dari tokoh perempuan NTT yang juga istri Gubernur NTT, Asti Laka Lena. Dalam pernyataannya, Asti menekankan pentingnya mengawal kasus ini sebagai perjuangan moral demi melindungi kaum perempuan dan anak-anak di wilayahnya.

“Jangan sampai ada celah hukum yang membuat pelaku lolos. Unsur TPPO harus dikenakan agar efek jera benar-benar terasa,” ungkap Asti.

Lebih dari itu, duka mendalam dirasakan para korban dan keluarganya. Kuasa hukum para korban, Veronika Ata dan Ansy Rihin Dara, menyatakan bahwa klien mereka mengalami trauma berat. Bahkan, korban kerap menangis dan mengalami depresi hebat bersama keluarganya.

“Ini bukan sekadar pelanggaran hukum, ini adalah luka sosial. Negara wajib hadir untuk memulihkan para korban secara psikologis dan sosial,” kata Veronika.

Sebelumnya, Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman, menyoroti kinerja aparat penegak hukum dalam menangani perkara ini. Ia menegaskan bahwa DPR RI tidak akan tinggal diam apabila melihat proses hukum berjalan lambat atau terindikasi adanya intervensi.

“Kalau tidak ada progres signifikan, kami akan meminta Kapolri untuk mengevaluasi, bahkan mencopot aparat penegak hukum yang menangani kasus ini,” tegas Habiburokhman.

Langkah ini menunjukkan komitmen serius dari DPR RI dalam memastikan bahwa hukum ditegakkan secara adil, tanpa pengaruh politik atau kekuasaan. Transparansi dan akuntabilitas dalam penegakan hukum menjadi harga mati dalam kasus-kasus sensitif seperti ini.

Komisi III DPR RI memastikan bahwa pihaknya akan terus mengawal proses hukum kasus mantan Kapolres Ngada secara ketat. Mereka menegaskan bahwa tidak boleh ada “main mata” atau penyelesaian di bawah meja dalam perkara yang menyangkut martabat dan keselamatan warga, khususnya perempuan dan anak-anak.

“Kita kawal proses ini agar tidak masuk angin. Ini adalah momentum untuk membersihkan institusi dari oknum-oknum yang mencoreng nama baik kepolisian,” kata Umbu Hunga dalam penutup pernyataannya.

Reporter : Ari .

Reporter: Jakarta